Sebagai respons terhadap krisis keuangan Jakarta pada akhir 1960-an, Gubernur Ali Sadikin melegalkan perjudian dan mendirikan kasino untuk menghasilkan pendapatan melalui perpajakan, terutama menargetkan komunitas Tionghoa serta menggunakan undang-undang kolonial yang sudah ada. Skema ekonomi ini bergantung pada pengaturan kasino-kasino tersebut, mengenakan pajak atas operasinya, dan menyalurkan pendapatan—seperti Rp130 juta pada tahun 1967—langsung ke infrastruktur publik seperti sekolah dan layanan penting lainnya, meskipun terdapat kontroversi moral yang signifikan. Penelusuran lebih lanjut mengungkapkan dampak tambahan dan perdebatan yang masih berlangsung terkait kebijakan ini.

Situasi Keuangan Jakarta yang Gawat dan Pencarian Solusi

Ketika Gubernur Ali Sadikin menjabat di Jakarta pada tahun 1966, ia segera menghadapi krisis keuangan yang parah yang membatasi kemampuan kota untuk menyediakan layanan publik yang esensial. Anggaran Jakarta hanya sebesar Rp66 juta, jumlah yang tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan mendesak, karena 60% penduduk tinggal di kawasan kumuh dan proporsi anak-anak yang sama tidak bersekolah. Kota ini hanya mempekerjakan 24.700 pegawai pemerintah, sebagian besar menerima gaji rendah, yang semakin membatasi kapasitas operasional. Untuk mengatasi tantangan ini, seorang pemimpin harus terlebih dahulu melakukan penilaian menyeluruh terhadap sumber daya yang tersedia, memprioritaskan layanan-layanan penting, dan mencari sumber pendapatan baru. Menjelajahi metode pendanaan alternatif, memaksimalkan efisiensi sumber daya yang ada, dan melakukan benchmarking terhadap kota-kota global yang sukses merupakan langkah-langkah penting untuk mengatasi keterbatasan keuangan seperti itu.

Legalisasi Perjudian: Asal Usul Kebijakan dan Implementasinya

Setelah menganalisis secara cermat tantangan keuangan Jakarta yang terus-menerus dan meninjau peraturan yang ada, Gubernur Ali Sadikin memulai proses legalisasi perjudian pada tahun 1967 dengan memanfaatkan undang-undang kolonial Belanda yang kurang dikenal yang memungkinkan pengenaan pajak atas aktivitas perjudian. Ia merancang kerangka kebijakan yang bertujuan untuk membawa operasi perjudian informal di bawah kendali pemerintah. Dengan melokalisasi dan mengatur industri tersebut, pemerintah mampu menghasilkan pendapatan yang signifikan, yang kemudian diarahkan untuk layanan publik dan infrastruktur penting. Kasino legal pertama didirikan di Petak Sembilan, diikuti oleh satu lagi di Ancol, dengan akses yang dibatasi hanya untuk warga negara Tionghoa, sedangkan warga negara Indonesia secara eksplisit dilarang. Dalam waktu satu tahun, pajak perjudian secara drastis meningkatkan anggaran kota, menunjukkan manfaat praktis dari menyalurkan aktivitas ilegal sebelumnya ke dalam sistem yang transparan dan menghasilkan pendapatan meskipun terdapat keberatan moral yang terus berlanjut.

Berdasarkan kerangka kebijakan yang membawa perjudian di bawah regulasi pemerintah, pembukaan kasino legal pertama di Jakarta di Petak Sembilan menandai perubahan signifikan dalam pendekatan kota terhadap pengelolaan aktivitas perjudian. Inisiatif legalisasi yang diperkenalkan oleh Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1967 ini menargetkan individu yang sudah mencari peluang berjudi ke luar negeri, khususnya ke Makau, menunjukkan adanya permintaan yang sudah ada di Jakarta. Regulasi awalnya difokuskan untuk melayani komunitas Tionghoa, sementara warga negara Indonesia dilarang ikut serta, sehingga audiens sasaran menjadi jelas. Untuk memastikan kepatuhan, operasi kasino diformalkan, mewajibkan pelaporan keuangan yang transparan dan pengawasan. Dengan menyalurkan aktivitas perjudian ke dalam kerangka hukum, pemerintah bertujuan untuk mengurangi perjudian ilegal, menahan pendapatan agar tetap di dalam negeri, serta menyediakan pilihan hiburan yang terstruktur, memberikan kebebasan pribadi yang lebih besar kepada warga dalam lingkungan yang teratur.

Dampak Ekonomi: Pendapatan, Infrastruktur, dan Layanan Publik

Peningkatan yang signifikan dalam pendapatan pemerintah menandai dampak ekonomi langsung dari legalisasi kasino di Jakarta, dengan anggaran tahunan kota meningkat dari Rp70 juta menjadi Rp1,1 miliar hanya dalam satu tahun setelah operasi perjudian diatur. Lonjakan pendapatan ini memungkinkan pemerintah mengalokasikan dana secara langsung ke proyek infrastruktur publik seperti pusat kebudayaan, rumah sakit, dan lembaga pendidikan. Sebagai contoh, pada tahun 1967, pendapatan dari perjudian mencapai Rp130 juta, yang menyediakan modal untuk membangun 40 gedung sekolah baru pada tahun 1968 dan memperluas akses pendidikan bagi anak-anak kurang mampu. Dana yang dihasilkan dari kasino juga meningkatkan layanan penting, termasuk lampu jalan dan sistem drainase, yang mendukung modernisasi kota. Untuk mereplikasi manfaat ini, para pembuat kebijakan harus menjamin pengelolaan pendapatan yang transparan dan memprioritaskan investasi yang secara langsung meningkatkan kesejahteraan publik serta pembangunan kota jangka panjang.

Kontroversi Publik dan Warisan Abadi dari Legalisasi Perjudian

Sementara legalisasi perjudian di Jakarta di bawah Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1967 menghasilkan manfaat ekonomi yang signifikan, kebijakan ini juga memicu kontroversi publik yang cukup besar, terutama di kalangan pemimpin agama dan kelompok masyarakat yang khawatir tentang kesesuaian kebijakan tersebut dengan nilai-nilai mayoritas Muslim di Indonesia. Para pengkritik menyebut Sadikin sebagai “Gubernur Maksiat” dan mempertanyakan apakah penggunaan pendapatan dari perjudian untuk membiayai infrastruktur, seperti sekolah dan rumah sakit, dapat dibenarkan secara etis. Bagi mereka yang menghadapi isu serupa, penting untuk menyeimbangkan keuntungan ekonomi dengan standar moral masyarakat. Tetapkan regulasi yang transparan, libatkan beragam pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan, dan komunikasikan manfaat publik yang diharapkan dengan jelas. Meskipun perjudian dilarang secara nasional pada tahun 1974, perdebatan tentang warisannya masih berlanjut, yang menunjukkan pentingnya mempertimbangkan baik hasil ekonomi maupun dampak sosial jangka panjang ketika mengevaluasi kebijakan semacam ini.